Perspektif Tentang Hak Warisan Bagi Anak Diluar Nikah Dari Ayahnya

08/04/2024

Hukum Waris Perdata, Sangat erat hubungannya dengan hukum keluarga, maka dalam mempelajari hukum waris perlu dipelajari pula sistem hukum waris yang bersangkutan seperti sistem kekeluargaan, sistem kewarisan, wujud dari barang warisan dan bagaimana cara mendapatkan warisan.

Dalam hukum waris perdata, berlaku suatu asas, yaitu apabila seseorang meninggal dunia (Pewaris), maka demi hukum dan seketika itu juga hak dan kewajibannya beralih kepada para ahli warisnya, sepanjang hak dan kewajiban tersebut termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau dengan kata lain hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.

Sistem hukum waris Perdata memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem hukum waris lainnya, yaitu menghendaki agar harta peninggalan pewaris sesegera mungkin dapat dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Oleh karenanya, dalam pembagian waris harus dilihat terlebih dahulu hukum yang mana yang akan digunakan oleh para ahli waris dalam dalam menyelesaikan sengketa waris yang terjadi

Dalam konteks hak waris, Menurut R. Subkti di dalam KUHPerdata dikenal adanya tiga penggolongan terhadap anak-anak, yaitu:

  1. Anak sah, yaitu anak yang lahir di dalam suatu perkawinan yang sah (250 KUHPerdata);
  2. Anak luar kawin yang diakui, yaitu anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tapi diakui oleh seorang ayah dan/atau seorang ibu.
  3. Anak luar kawin yang tidak diakui, yaitu anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, dan tidak diakui, baik oleh ayah maupun oleh ibunya.

Di dalam pasal 272 KUHPerdata dinyatakan bahwa tiap-tiap anak yang dibenihkan di luar pernikahan, kemudian dengan nikahnya bapak dan ibu biologisnya, maka anak tersebut menjadi anak sah apabila keduanya sebelum menikah telah mengakuinya menurut ketentuan undang-undang yakni tercatat dalam akta kelahiran si anak atau di dalam akta pernikahan orang tuanya.

Pengaturan mengenai hak waris anak luar kawin dari ayahnya berdasarkan ketentuan Pasal 863 KUHPerdata menyatakan bahwa jika pewaris meninggal dunia dan meninggalkan keturunan yang sah (anak sah) dan/atau suami istri, maka anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya memiliki hak untuk mewarisi 1/3 bagian dari harta warisan yang seharusnya didapatkan oleh anak-anak sah, jika mereka ada.

Artinya, jika sang ayah mengakui anak luar kawinnya, maka anak tersebut memiliki hak untuk menerima bagian warisan sebesar 1/3 dari total harta yang seharusnya didapatkan oleh anak-anak sah dan tentunya pembagian warisan berdasarkan Undang-undang. Dengan kata lain, anak yang diakui akan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan anak-anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan sah, termasuk hak untuk mewarisi harta peninggalan orang tua mereka.

Namun, penting untuk dicatat bahwa apabila sang ayah tidak mengakui anak luar kawin tersebut, maka menurut ketentuan tersebut, anak tersebut tidak akan mendapat bagian warisan. Dalam konteks ini, pengakuan ayah terhadap status anak luar kawin menjadi faktor kunci dalam menentukan apakah anak tersebut memiliki hak waris atau tidak. Jika ayah tidak mengakui anak luar kawinnya, anak tersebut tidak akan memiliki hak atas bagian warisan dari ayahnya.

Akan tetapi, disatu sisi juga dengan berlakunya undang-undang Perkawinan yaitu UU No.1 tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, maka anak luar kawin yang tidak diakui pun dengan otomatis mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Dengan demikian, maka keharusan seorang ibu untuk mengakui anak luar kawinnya seperti yang disebutkan dalam Burgerlijk Wetboek adalah tidak diperlukan lagi. Begitu juga telah ditegaskan di dalam Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut yang juga merupakan bahagian dari reformasi hukum, sehingga si anak juga mempunyai hubungan yuridis dengan ayah biologisnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum.

Jadi, dari perspektif hukum positif, anak diluar nikah dapat memperoleh harta waris dari ayahnya jika ada pengakuan dari ayahnya atau ada bukti yang sah.

Namun pada Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tersebut tidak ada pembatasan secara jelas bahwa putusan tersebut hanya berlaku bagi anak zina atau anak luar kawin. Sebagaimana diketahui bahwa adanya pengertian anak yang tidak sah dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah anak yang dilahirkan dalam pernikahan yang sah menurut agama namun tidak dicatatkan pada lembaga yang berwenang dan kedua, anak yang tidak sah adalah anak yang dilahirkan tidak dalam ikatan pernikahan yang sah.

 

Oleh, Yatatema Gea, S.H.,CTA.

Referensi:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010